Pengujian black-box digunakan untuk menguji
fungsi-fungsi perangkat lunak yang dirancang. Pengujian black-box berfokus pada persyaratan fungsional perangkat lunak. Dengan
demikian, pengujian black-box memungkinkan
perekayasa perangkat lunak mendapatkan serangkaian kondisi masukan yang sepenuhnya menggunakan semua
persyaratan fungsional untuk suatu program. Pengujian black-box berusaha menemukan kesalahan dalam kategori sebagai
berikut (Pressman, 2002):
1. Fungsi-fungsi
yang tidak benar atau hilang.
2.
Kesalahan antarmuka.
3. Kesalahan
dalam struktur data atau akses basis data
eksternal.
4. Kesalahan
kinerja.
5. Inisialisasi
dan kesalahan terminasi.
Pengujian black-box dilakukan dengan membuat kasus
uji yang bersifat mencoba semua fungsi dengan memakai perangkat lunak apakah
sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Kasus uji yang dibuat dengan kasus benar
dan kasus salah, misalkan untuk kasus login
maka kasus uji yang dibuat adalah (Rosa dan Shalahuddin, 2011):
1. Jika
pengguna memasukkan nama pengguna (username)
dan kata sandi (password) yang benar.
2. Jika
pengguna memasukkan nama pengguna (username)
dan kata sandi (password) yang salah,
misalnya nama pengguna benar tetapu kata sandi salah, atau sebaliknya, atau
keduanya salah.
Setelah selesai
uji black-box haruslah dilakukan uji
yang memperlihatkan apakah calon pengguna mau menerima produk tersebut. Jadi setelah
selesai menetapkan bahwa produk sesuai atau tidak sesuai dengan kebutuhan, tes
belum selesai. Perlu dilakukan uji penerimaan (beberapa menyebutnya user acceptance test). Dengan dilakukan
uji penerimaan, maka uji validasi menjadi lengkap (Hananto, 2012). Acceptance test merupakan pengujian
yang berdasarkan motivasi, sementara pengujian black-box merupakan pengujian yang berdasarkan hubungan dengan kode
implementasi (Hariyanto, 2004).
0 comments:
Post a Comment